Peranan Masjid Dalam Perspektif Islam
Peranan MASJID DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh: Dr. H. Tata Fathurrohman, SH., MH
Masjid merupakan rumah atau bangunan tempat melaksanakan salat orang Islam. Dalam pengertian biasa, masjid merupakan bangunan tempat salat kaum Muslim. Sedangkan hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata.
A. Latar Belakang
1. Pengertian
Kata masjid disebut dua puluh delapan kali di dalam al-Quran. Kata ini berasal dari bahasa Arab “sajada, yasjudu, sujûdan”, yang berarti “sujud.” Sedangkan “masjid” berarti tempat sujud. Masjid merupakan rumah atau bangunan tempat melaksanakan salat orang Islam. Dalam pengertian biasa, masjid merupakan bangunan tempat salat kaum Muslim. Sedangkan hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Oleh karena itu, al-Quran surat al-Jin (72): 18 menentukan: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” Selain itu, hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim melalui riwayat Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw. bersabda: “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.” Hadits ini menjelaskan, masjid jika dikaitkan dengan bumi, bukan hanya sekadar tempat sujud dan sarana penyucian, tetapi berarti juga tempat melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt.
Al-Quran menggunakan kata sujud untuk berbagai arti:
1) Sebagai penghormatan dan pengakuan pihak lain, seperti para malaikat sujud kepada Adam dalam al-Quran surat al-Baqarah (2): 34.
2) Kesadaran terhadap kekhilafan dan pengakuan kebenaran yang disampaikan pihak lain, seperti firman Allah Swt. dalan al-Quran surat Thȃhȃ (20): 70, yang artinya: “Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: Kami percaya kepada Tuhan Harun dan Musa.”
3) Mengikuti maupun menyesuaikan diri dengan ketetapan Allah yang berkaitan dengan alam raya ini, seperti firman Allah dalam al-Quran surat al-Rahman (55): 6, yang artinya: “Bintang dan pohon keduanya bersujud.”
2. Fungsi Masjid Menurut al-Quran
Al-Quran menjelaskan fungsi masjid pada surat an-Nur (24): 36-37, yang artinya: “Bertasbih kepada Allah dimasjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
Tasbih pada ayat tersebut, bukan hanya berarti mengucapkan Subhanallah, tetapi mengandung makna yang lebih luas, sesuai dengan konteks ayat tersebut, yakni orang-orang yang mensucikan Allah diwaktu pagi dan petang, tidak terganggu dengan kesibukkan aktivitas dunia, jual beli dan perniagaan untuk mengingat Allah Swt. Mereka tetap mengerjakan salat pada waktunya dan mengeluarkan zakat yang diwajibkan untuk membersihkan diri mereka dari segala kotoran.
B. Masjid pada jaman Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah Saw. tiba di Quba, beliau membangun masjid yang pertama yang disebut “Masjid Quba.” Selanjutnya beliau membangun “Masjid Nabawi” di Madinah. Kedua masjid ini dibangun atas dasar takwa, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat at-Taubah (9): 108-110, yang artinya: “Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang mau membersihkan diri. Dan allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat al-Quran tersebut menetapkan bahwa setiap masjid seharusnya dibangun atas dasar takwa dan bukan ats dasar yang lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. meruntuhkan bangunan kaum munafik yang mereka namakan juga masjid dan menjadikann lokasi itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang. Hal ini disebabkan bangunan tersebut, tidak berfungsi sebagai masjid yang sebenarnya, yakni takwa. Al-Quran melukiskan bangunan ini dalam surat at-Taubah (9): 107, sebagai berikut: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).
Penjelasan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu pada ayat tersebut adalah kisah seorang pendeta Nasrani di Madinah yang bernama Abu ʻAmir dari Bani Khajraj. Dia juga tahu ilmu Ahli Kitab dan dia mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan penduduk Madinah. Setelah Rasulullah Saw. Hijrah ke Madinah, kaum Muslimin berhimpun di sekeliling beliau, kalimat Islam semakin tinggi, dan Allah memenangkan Islam atas kaum Musyrikin. Kemudian Abu ʻAmir lari ke Makkah dan menghimpun orang-orang di sana untuk bersama-sama memerangi Nabi Muhammad Saw. pada perang Uhud. Dia juga menganjurkan kepada orang-orang Anshar untuk membantunya, namun mereka menolaknya. Selanjutnya ia lari kepada Heraclius Raja Rumawi yang berjanji akan membantunya. Abu ʻAmir menulis surat kepada kaum munafik bahwa ia akan datang dengan membawa tentara untuk memerangi Nabi Muhammad Saw. dan mengalahkannya.
Orang-orang munafik mendirikan masjid sebagai pengintaian dan mereka menunggu kedatangan Abu ʻAmir dari Syria serta membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslimin. Kaum munafik ini mendatangi Nabi Saw. dan memintanya untuk melakukan salat dalam masjid mereka. Alasan mereka bahwa bangunan masjid tersebut diperuntukkan orang-orang lemah dan orang-orang sakit yang tidak dapat melakukan salat pada malam yang dingin. Kemudian Allah Swt. memelihara Nabi Saw melakukan salat di masjid Dhirar. Nabi Saw. menjawab: kita sedang bersiap-siap melakukan perjalanan ke Tabuk. Selain itu, kedatangan Abu ʻAmir ini tidak jadi karena ia mati di Syria. Setelah Rasulullah Saw. menerima wahyu tentang masjid Dhirar ini, beliau mengutus seseorang ke masjid yang dibangun kaum munafik tersebut untuk dihancurkan. Beliau memerintahkan agar tempat tersebut dijadikan pembuangan sampah.
C. Memakmurkan Masjid
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan universal, mengandung ajaran yang membimbing umatnya agar hidup sejahtera pada kehidupan di dunia yang fana ini maupun pada kehidupan abadi di akhirat kelak. Di antara ajaran Islam, sebagian sudah ditetapkan secara pasti oleh Allah Swt. dan para Rasul-Nya, seperti kegiatan memakmurkan masjid dan siapa yang boleh memakmurkannya.
Al-Quran surat at-Taubah (9): 17 menetapkan: “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.
Ayat ini berkaitan dengan pertolongan Allah Swt., sehingga Rasulullah Saw. dan para sahabat dapat membebaskan Makkah. Dengan demikian kekuasaan kaum musyrikin di Makkah menjadi berakhir. Selanjutnya Rasulullah Saw. dan para sahabat membersihkan Masjid al-Haram dari berhala-berhala yang menjadi sembahan orang-orang musyrik dan ibadah-ibadah mereka yang batil. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. menyuruh Ali untuk membatalkan perjanjian dengan mereka, yang berisi kedua belah pihak tidak boleh melarang yang lainnya untuk memasuki Masjid al-Haram dan membacakan awal surat at-Taubah di hadapan para utusan mereka dalam Haji Akbar tahun 9 Hijrah. Al-Quran surat at-Taubah (9): 1 menjelaskan: “(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).
Isi dari pengumuman tersebut adalah hendaknya mereka mengetahui bahwa ibadah mereka yang bersifat syirik itu akan dilarang dilakukan di Masjid al-Haram sesudah tahun ini. Sehubungan dengan hal ini, Ali dan para pembantunya mengumumkan di Mina, yang isinya larangan bagi orang musyrik mengerjakan ibadah haji dan melaksanakan thawaf dalam keadaan telanjang.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Abbas meriwayatkan, ketika Abbas ditawan dalam perang Badar, kaum Muslimin mencelanya bahwa dia orang kafir dan telah memutuskan sillaturrahim. Ali juga ikut mencelanya lebih keras lagi. Kemudian Abbas menjawab: “ Mengapa kalian hanya menyebut kejelekan-kejelekan kami saja, tanpa menyebut kebaikan kami?.” Ali bertanya: “Apakah kalian mempunyai kebaikan?” Abbas menjawab: “Tentu, Kami memakmurkan Masjid al-Haram, membuat dan memasang tabir bagi Ka’bah, dan memberi minum kepada orang yang menunaikan ibadah haji. Maka turun surat at-Taubah (9): 17.
Ayat al-Quran surat at-Taubah (9): 17, menetapkan bahwa kegiatan memakmurkan Masjid al-Haram, bukanlah urusan kaum musyrikin, karena mereka memadukan dua perkara yang bertentangan, yakni mereka memakmurkan Masjid Teragung ini, dengan menziarahinya untuk menunaikan ibadah haji atau umrah dan kufur kepada Allah Swt., mereka menyamakan Allah Swt. dengan sebagian makhluknya, berupa berhala dan patung. Kaum musyrikin yang kafir kepada Allah Swt. dan apa-apa yang dibawa oleh Rasul-Nya itu telah sia-sia amalnya. Tidak ada sedikit pun di antara perbuatan itu yang berpengaruh terhadap perbaikan diri mereka, selama mereka tetap melakukan kemusyrikan. Mereka kekal di neraka, disebabkan oleh kekufuran yang menyia-nyiakan amal baik dan mengotori jiwa mereka, sehingga tidak tersisa sedikitpun kesiapan untuk mendekati Allah di akhirat nanti.
Ayat al-Quran surat at-Taubah (9): 18, menentukan yang berhak memakmurkan masjid-masjid, hanyalah mereka yang memadukan keimanan kepada Allah menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Kitab-Nya, dengan keimanan kepada hari akhir, yang Allah akan menghisab amal hamba-hamba-Nya dan membalas apa yang telah dikerjakannya. Hal tersebut dengan disertai melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan takut kepada Allah semata.
Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam, yakni:
1) Tempat ibadah (salat, dzikir, dan lain-lain).
2) Tempat konsultasi dan komunikasi.
3) Tempat pendidikan.
4) Tempat santunan sosial.
5) Tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6) Tempat pengobatan para korban perang.
7) Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8) Aula dan tempat menerima tamu.
9) Tempat menawan tahanan.
10) Pusat penerangan atau pembelaan agama.
Agaknya Masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas, disebabkan antara lain oleh :
1) Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh kepada nilai, norma dan jiwa agama.
2) Kemampuan pembina-pembina masjid menghubungkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
3) Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (Musyawarah).
Fungsi masjid tersebut, dirumuskan kembali pada Muktamar Risalatul Masjid di Makkah tahun 1975. Pada Muktamar ini didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatan berperan secara baik, jika memiliki ruangan dan peralatan yang memadai untuk:
1) Ruangan salat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2) Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk salat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
3) Ruang pertemuan dan perpustakaan.
4) Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
5) Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.
Islam mendorong agar kaum muslimin mau mendirikan masjid, seperti hadits riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim yang diterima dari Utsman bin Affan r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di Surga.” Selanjutnya Islam mengharuskan agar setiap masjid tersebut dibersihkan dan diwangikan. Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat Lima Imam Pencatat Hadits kecuali an-Nasai (Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah), yang diterima dari ʻȂisyah, ia berkata: “Rasulullah Saw. telah memerintah untuk membangun masjid pada suatu kampung, dan untuk membersihkannya, serta untuk mewangikannya.” Sedangkan di dalam hadits riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi yang disahkannya serta diterima dari Samurah bin Jundub, ia berkata: “Rasulullah Saw. telah memerintah kami untuk membangun masjid di kampung-kampung-kampung kami dan beliau memerintah kami untuk membersihkannya.”
Setiap mukmin dianjurkan jika masuk atau kelur masjid untuk selalu berdoa, sebagaimana di dalam hadits riwayat Ahmad, an-Nasai, Muslim dan Abu Dawud yang diterima dari Abi Hamid dan Abi Asid, Rasulullah Saw. telah bersabda: Apabila seseorang di antara kamu masuk masjid, maka ucapkanlah doa: “Allahumma iftah lanȃ abwȃba rahmatika.” Dan apabila keluar ucapkanlah doa: “Allahumma inȋ asaluka min fadlika.”
Saat ini pengurusan masjid-masjid telah mengalami perkembangan, khususnya di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari bekas peninggalan kerajaan Islam di masa lampau, yakni setiap pusat pemerintahan ada pendopo sebagai pusat pemerintahan, di depannya ada masjid dan alun-alun. Di tanah air kita yang mengurus masjid secara mayoritas dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi keagamaan, kampus dan lain-lain, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam, masjid Salman Institut teknologi Bandung, dan lain-lain.
Para pembina masjid diharapkan mampu mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas. Oleh karena itu, sarananya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, dewasa, anak-anak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, dan kaya ataumiskin.
Untuk memelihara kesucian masjid, al-Quran menetapkan agar orang yang memasuki masjid memakai hiasan, hal ini dapat dilihat pada surat al-Aʻraf (7): 31: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Az-Zinnah yangdimaksud pada ayat ini adalah perhiasan yang menghiasi sesuatu atau seseorang, yang dia ambil untuk dijadikan hiasan. Adapun yang dimaksud prhiasan di sini adalah pakaian bagus yang mencegah seseorang dari hal yang menjadikannya kelihatan sangat buruk, di tengah orang banyak, yakni pakaian yang dapat menutup auratnya, dan pakaian ini wajib dipakai untuk sahnya salat dan thawaf. Sebagian ulama berpendapat bahwa memakai perhiasan pada waktu ibadah di masjid adalah wajib sesuai dengan kebiasaan orang-orang di situ dalam menghiasi diri pada pertemuan-pertemuan dan perkumpulan-perkumpulan agar seorang mukmin ketika menyembah Allah bersama hamba mukmin lainnya tetap dalam keadaan yang paling elok, tanpa mengurangi ibadah itu sendiri, dan tidak berlebih-lebihan.
Imam ath-Thabrani dan al-Baihaqi telah mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “ Apabila seorang di antara kamu melakukan salat, maka hendaklah mengenakan dua pakaiannya. Karena sesungguhnya Allah ʻAzza wa Jalla adalah Dzat yang paling patut dihadapi oleh orang yang berhias. Jika orang itu tidak mempunyai dua pakaian, maka pakailah kain jika dia salat; dan jangan ada seorangpun di antara kamu berselubung dalam salatnya sepeerti yang dilakukan oleh orang yahudi. Sedangkan asy-Syafiʻi, Ahmad, dan al-Bujhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. telah bersabda: “Jangan sekali-kali seorang di antara kamu melakukan salat dengan memakai satu pakaian yang pada tengkuknya tidak ada apa-apanya.
Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Pakailah pakaianmu yang serba putih, maka itu sebaik-baik pakaianmu dan gunakanlah untuk kafan orang mati, dan sebaik-baik celak matamu adalah yang dibuat dari batu itsmid (batu celak), sebab ini menerangkan mata dan menumbuhkan rambut.” Di samping itu, Imam Ahmad juga menerangkan sebuah hadits dari Samurah bin Jundub r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Perhatikan pakaianmu yang putih dan pakailah, karena ia lebih bersih dan baik, dan kafankan untuk orang matimu.” Selanjutnya Imam Ahmad, an-Nasȃi, dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amr r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa sombong atau boros (berlebihan), maka sesungguhnya Allah suka melihat nikmat-Nya dirasakan (tampak) pada hamba-Nya. Demikian juga Rasulullah Saw. menganjurkan untuk melakukan salat sunnat dua rakaat ketika masuk masjid, yang dilakukan sebelum duduk. Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat Muttafaq ʻAlaih yang diriwayatkan dari Abi Qatadah r.a., bahwa Rasulullah telah bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu masuk masjid, maka janganlah duduk di dalamnya, sebelum melakukan salat dua rakaat.”
Selanjutnya di dalam hadits dianjurkan agar salat berjamaah semampunya dilakukan dimasjid, seperti hadits riwayat Ahmad, Bukhari, dan Muslim yang diterima dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Salatnya seseorang dengan berjamaah melebihi salatnya di rumahnya dan salatnya di pasarnya, dengan dua puluh derajat.”
Selain terdapat hal-hal yang dianjurkan dilakukan di masjid, ada juga hal-hal yang tidak boleh dilakukan di masjid, seperti sebuah hadits hasan riwayat an-Nasȃi dan at-Tirmidzi dari Abu hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Apabila kamu melihat orang yang berjual beli di masjid, katakanlah kepadanya: mudah-mudahan Allah Swt. tidak memberikan keuntungan pada perdaganganmu.” Demikian juga Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mendengar seseorang yang mencari barang yang hilang di masjid, maka katakanlah kepada orang tersebut: mudah-mudahan Allah tidak mengembalikan barang yang hilang tersebut, karena sesungguhnya masjid tidak dibangun untuk keperluan tersebut.”
D. Penutup
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa masjid tidak dapat dipisahkan dari perjuangan umat Islam sejak jaman Rasulullah Saw., kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, para tabiin, para tabiu at-tabiin, dan umat Islam sampai saat ini. Pada jaman Rasulullah Saw. masjid mempunyai peranan yang penting bagi perjuangan Islam, karena saat itu kegiatan-kegiatan Islam dipusatkan dari masjid.
Islam menganjurkan kepada orang-orang yang beriman untuk membangun masjid, menjaga kebersihannya, mewangikannya, memakmurkannya, agar berdoa setiap masuk dan keluar dari masjid, serta melaksanakan salat dua rakaat yang disebut salat tahiyat al-masjid.
Al-Quran menerangkan karakteristik orang-orang yang senantiasa berupaya memakmurkan masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah Swt., selalu mendirikan salat, menunaikan zakat, dan hanya takut kepada Allah Swt.
Saat ini di tanah air kita, masjid selalu ada pada setiap pusat pemerintahan, karena setiap pusat pemerintahan, selalu didampingi dengan masjid dan alun-alun dan hal ini merupakan warisan yang baik dari kerajaan Islam di Pulau Jawa. Begitu juga setiap gedung perkantoran bertingkan selalu ada masjid, atau minimal ada musalla.
Daftar Pustaka
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984.
Ahmad Mustafȃ Al-Marȃghi, Tafsir al-Marāghi, Dȃr al-Fikri, 1984.
Imȃm al-Jalil al-Hȃfiz ‘Imȃd al-Din Abi al-Fidȃ Ismȃ‘il Ibn Katsir al-Qurasyi Al-Damsiqi, Tafsir al-Qur`ȃn al-‘Azim Juz 2, Nur Asia, tt.
Abû al-Fadl Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar Al-`Asqalȃni, Bulūgh al-Marȃm min ‘Adillah al-ahkȃm, Bairut: Dȃr al-Fikri, 1989.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Karya Toha Putra, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Jaʻfari, Hanafi, Maliki, Syafiʻi, dan Hambali (Al-Fiqh ‘alā Al-Mażāhib Al-Khamsah), diterjemahkan oleh Mansykur AB dkk. Jakarta: Lentera Basritama, 2003.
Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Al-Syaukȃni, Nail al-Autȃr juz 2, Dār al-Fikri, t.t.