/    /  Tafsir  /  Tafsir Al-Quran Juz Amma

Tafsir Al-Quran Juz Amma

Al-hamdu li Allâh al-ladzî nazzala Al-Qurân hudan li al-nâsi wa bayyinâtin min al-hudâ wa al-furqân. Asyhadu an lâ ilâha illa Allâh wa asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh. Allâhumma shalli ’alâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa bârik wa sallim.”

Al-Nushûsh Al-Qurâniyah atau teks-teks Al-Quran tertulis dengan bahasa Arab yang memiliki gaya bahasa tersendiri, sehingga orang Arab saat itu pun tidak ada yang mampu menandinginya. Al-Quran adalah mukjizat Allah yang diturunkan kepada Rasul Muhammad Saw.; mukjizat gaya bahasa yang digunakan, mukjizat kandungan ayat-ayatnya, dan mukjizat hukum-hukum yang tercantum di dalamnya.

Al-Quran adalah sumber ajaran dan sumber hukum. Untuk memahami sumber ajaran Islam ini diperlukan kemampuan bahasa Arab dengan berbagai macam ilmu bahasa yang berkaitan dengannya, ilmu-ilmu tafsir, hafal terhadap surah atau ayat yang ada korelasi dengan pokok bahasan, mengetahui hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat yang dibahas, bahkan kaidah-kaidah tafsir yang sudah diakui keabsahannya oleh para pakar tafsir.

Orang yang mengerti bahasa Arab, bahkan orang Arab sekali pun yang paham terhadap surah-surah dan ayat-ayat tersebut, belum tentu seluruh surah atau ayat-ayat tersebut dapat dipahami dengan baik. Karena itu, zaman Rasul pun para sahabat bertanya kepada Nabi untuk memahami surah atau ayat-ayat tersebut.

Setelah Rasul wafat, para sahabat sudah terbiasa mempelajari Al-Quran; mereka mempelajarinya secara bertahap, yaitu mereka mempelajari sekitar sepuluh ayat, menghafal, memaknai, dan mengamalkannya.

Di kalangan sahabat yang memahami tafsir, sekurangnya terdapat sepuluh ahli, yaitu khalifah yang empat (al-Khulafa al-Rasyidin – Abu Bakar, Umar Ibnu Khattab, Utsman Ibnu Affan, Ali Ibnu Abu Thalib) dan Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubai Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abdullah Ibnu Zubair. Ini berarti, di kalangan sahabat pun, walaupun mereka sering bertemu Rasul dan orang Arab yang mengerti bahasa Arab, tetapi dalam menafsirkan Al-Quran memerlukan keahlian tersendiri. Para sahabat tidak bergeser dari itu dan amat antusias dalam memahami Al-Quran; suatu ushwah yang amat baik bagi generasi sesudahnya dan ternyata cara seperti ini merupakan cara terbaik dan diikuti generasi tabiin. Demikian diriwayatkan Abdurrahman Sulami. Karena itu, para tabiin pun melanjutkannya, sehingga memunculkan para mufassir handal, antara lain: Mujahid, Atha, Ikrimah, Said Ibnu Zubair, dan Thawus.

Seiring munculnya para tokoh tafsir, muncul pula kota-kota tempat menimba ilmu. Sebut saja misalnya Madinah, Mekah, Kufah, Bashrah, Mesir, dan kota-kota lainnya. Di era sekarang ini, tempat menimba ilmu, khususnya dalam tafsir, amat banyak tersebar luas di negara-negara Muslim, baik Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, maupun Asia Tenggara, yang biasanya terkonsentrasi di perguruan tinggi, bahkan di pesantren-pesantren sekalipun.

Di Saudi Arabia, ada Universitas Madinah, di Mekah, ada Ummul Qura; di Riyadh, Universitas Muhammad bin Saud; di Mesir, ada Al-Azhar; di Sudan, ada Universitas Umm Durman, Yordan dan Syria, ada universitas-universitas Islam yang menjadi pusat kajian tafsir. Demikian pula di negara-negara Islam yang ada di Afrika Utara, seperti Libya, Tunis, Maroko, dan Aljazair. Di Pakistan, India, Malaysia, dan Indonesia, terdapat universitas-universitas Islam dengan fakultasnya yang memiliki jurusan tafsir dan hadis.

Perkembangan penafsiran Al-Quran dari waktu ke waktu amat intensif, sehingga bila dicermati, tidak ada kitab suci mana pun di dunia yang memiliki pemeliharaan, penelaahan, dan penafsiran secara khusus kecuali Al-Quran. Bahkan, dalam bahasa para ilmuwan Muslim dalam memahami Al-Quran ada yang disebut dengan tafsir dan ada yang disebut takwil.

Tafsir diartikan sebagai suatu ilmu yang membahas Al-Quran dari aspek makna harfiah yang dikehendaki Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Dengan penafsiran ini diharapkan dapat dipahami, untuk selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian, utamanya ayat-ayat muhkamât.

Adapun yang dikatakan takwil berkaitan dengan elaborasi makna-makna Al-Quran ketika dari aspek makna harfiahnya dianggap tidak sesuai dengan kenyataan yang seharusnya, seperti ayat-ayat mutasyâbihat. Umpamanya, ayat Yad Allâh fawqa aidîhimtangan Allah di atas tangan mereka. Makna ini sepertinya amat berat untuk diartikan secara harfiah, walaupun menurut ulama mutaqaddimîn, tidak ada alasan untuk tidak diterima makna harfiah seperti ini karena yang paling penting mengimaninya, bukan urusan kaif-nya (cara-caranya). Namun, agaknya tafsir tersebut tidak mudah dengan hanya disebut tafsir tanpa ada suatu pendekatan dan metode yang harus dilakukan. Memang, dalam Al-Quran sendiri disebutkan ada ayat muhkamât (tegas pengertiannya) dan mutasyâbihat (samar pengertiannya).

Jika mencermati bagaimana ulama dahulu mengodifikasi tafsir, metode, dan warna dari penafsiran Al-Quran, maka teridentifikasi berbagai model kodifikasi, pendekatan-pendekatan, dan metode. Pertama, model pendekatan kodifikasi; ada pendekatan kodifikasi, yaitu tafsîr bi al-ma`tsûr atau tafsîr bi riwâyah. Model pendekatan ini dengan menggunakan riwayat dari Nabi Saw. sendiri dan sahabat, bahkan dari al-tâbiin bagaimana mereka menerima, memahami, dan memaknai ayat-ayat tertentu atau lafal tertentu. Mereka enggan ambil risiko apa pun tentang tafsir. Mereka bersikukuh atas hadis yang menyatakan, Man qâla fi Al-Qurân bi al-ra`yi falyatabawwa` maq’adahu min al-nâr. (HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas). Artinya, barang siapa berbicara tentang Al-Quran dengan pendapatnya, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka.

Dalam hadis lain disebutkan, Wa man qâla fi Al-Qurân bi ra`yihi fa ashâba, faqad akhtha`a (HR Abu Daud dari Jundub). Artinya, barang siapa berbicara tentang Al-Quran dengan pendapatnya, lalu benar, maka ia telah keliru. Ini adalah bentuk kehati-hatian mereka dalam menafsirkan  Al-Quran.

Kedua, pendekatan dengan tafsîr bi al-ra`yi atau bi al-dirâyah. Model kodifikasi tafsir dengan menggunakan ijtihad ulama-ulama tafsir, baik ulama klasik maupun modern. Penafsiran semacam ini merupakan penafsiran yang sampai saat ini dan banyak tafsir dengan menggunakan kedua pedekatan ini, sejak mutaqaddimîn dan muta`akhirîn. Tafsir karya Imam Al-Thabari, Ibnu Katsir, Tanwîr Al-Miqbâs, dan lain-lain. Sementara itu, model pendekatan bi al-ra`yi tidak kurang banyaknya, seperti karya Imam Al-Fakhru Al-Razi, Tafsir Al-Baidhawi, dan Tafsir Abu Su’ud.

Di samping itu, bila memerhatikan corak-corak penafsiran Al-Quran, sebagaimana diungkap Quraish Shihab, bisa dikategorikan dengan corak-corak sebagai berikut: (a) corak sastra dan bahasa; (b) corak filsafat dan teologi; (c) corak penafsiran ilmiah; (d) corak fikih atau hukum; (e) corak tasawuf; dan (f) corak budaya dan kemasyarakatan. Tafsîr Al-Manâr dan Al-Marâghi merupakan contoh pendekatan bahasa dan sosial yang banyak dibaca orang.

Masih belum cukup sampai di sini. Perlu direalisasikan segera ialah corak pendidikan, lingkungan, ekonomi, dan yang berkaitan dengan kontekstualisasi kehidupan saat ini. Karena itu, ketika Tafsir Unisba ini digulirkan sebenarnya bukan berarti kekurangan tafsir Al-Quran di masyarakat. Tafsir ini sebagai   upaya memerkaya khasanah tafsir yang sudah terbit di kalangan masyarakat kita, baik tafsir yang menggunakan bahasa Arab, bahasa Indonesia, maupun bahasa lainnya.

Di zaman modern sekarang, memahami Al-Quran belum cukup hanya dengan pendekatan (al-Ittijâh) di atas, tetapi juga memerlukan metode atau tharîqah yang meliputi metode maudhûî (tematik), ijmâlî (global-umum), tahlîlî (analisis), dan muqarran (komparatif). Bahkan, pendekatan-pendekatan lain yang lebih memudahkan pemahaman terhadap Al-Quran.

Departemen Agama tengah menyusun tafsir tematik yang meliputi tema-tema kontemporer saat ini, seperti kepemimpinan, ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan lain-lain. Para mufassir berusaha menafsirkan dengan berbagai pendekatan, corak, dan metode.

Penafsiran bukan perkara mudah. Selain memerlukan metode, kaidah, asbâb al-nuzûl, munâsabah antara surah dan ayat, juga harus mengetahui ayat-ayat lain. Mufassir sebaiknya seorang hafizh, hafal Al-Quran, sehingga yang bersangkutan dapat menghubungkannya dengan ayat-ayat lain. Bahkan, hadis-hadis pun diperlukan untuk klarifikasi bagaimana Rasul dan para sahabat dulu menafsirkannya, karena hadis juga berfungsi sebagai bayân (penjelasan) terhadap ayat-ayat Al-Quran. Dalam Al-Quran, ada ayat yang mujmal (global), muthlaq (mutlak), ’âm (umum), muhkam, dan mutasyâbih, yang semuanya memerlukan bayân . Hadis itulah yang menjadi bayân-nya.

Memang, tidak semua ayat memerlukan penjelasan dari hadis. Karena itu, Ibnu Abbas pernah menyatakan tafsir sebagai berikut: “(a) ada tafsir yang menerangkan halal dan haram yang harus diketahui semua mukallaf; (b) tafsir yang ditafsirkan oleh orang Arab dengan kekuatan bahasanya; (c) tafsir yang ditafsirkan oleh ulama; dan (d) tafsir yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya”. Akan tetapi, manusia, dalam hal ini para ulama dan ilmuwan, belum mampu mengungkap semua yang berkaitan dengan Al-Quran ini.

Unisba sebagai lembaga ilmiah yang memiliki visi: Unisba diharapkan menjadi perguruan tinggi Islam terkemuka, pelopor pembaruan pemikiran, dan pelaksanaan kehidupan beragama, serta pembina Iman berakhlak karimah yang bermanfaat bagi diri sendiri, umat, masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara itu, misi Unisba menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, membina kehidupan kampus yang dinamis, ilmiah, serta mengembangkan lingkungan fisik dan sosial berlandaskan nilai-nilai Islam.

Adapun karakter dari dosen dan lulusannya sesuai dengan tujuan Unisba itu sendiri, yaitu mujâhid (pejuang), mujtahid (peneliti), mujaddid (pembaru), dan bila dimungkinkan sekaligus muwahhid (pemersatu), sesuai dengan Hymne Unisba bahwa Islam sebagai agama pemersatu. Adalah selayaknya Unisba memiliki tafsir secara khusus yang memiliki nilai tersendiri yang khas, yang disiapkan bagi para dosen, karyawan, dan lulusannya, bahkan masyarakat luas yang memerlukannya. Para mufassir, baik dari masa klasik maupun modern, berusaha menafsirkan dengan berbagai pendekatan, corak, dan metode. Di sinilah para dosen Unisba berusaha juga untuk menafsirkan Al-Quran ini dengan corak dan metode yang dianggap tepat, sesuai dengan kemampuannya.

Sebagai perguruan tinggi Islam swasta di Jawa Barat yang sudah lama berkiprah dalam mengembangkan studi Islam dan dakwah serta membina para kadernya, sudah selayaknya perguruan tinggi memiliki Tafsir Al-Quran, sebagai bagian dari tridarma perguruan tinggi yang menjadi amanahnya. Tafsir Al-Quran yang secara khusus disusun para dosen Unisba merupakan keniscayaan, karena bila dikaitkan dengan visi dan misi-Unisba di atas, ternyata memerlukan penafsiran yang lintas disiplin, sesuai dengan fakultas dan jurusan yang ada. Penafsiran seperti ini amat dimungkinkan selama tidak menyalahi kaidah-kaidah yang ada.

Namun, tentu idealisme dalam menafsirkan sungguh suatu harapan yang dicita-citakan siapa pun, termasuk para pembaca. Akan tetapi, suatu hal yang amat berat, maka segala kemampuannya. Karena itu, sebagai rujukan utama, penafsiran ini Al-Tafsîr Al-Munîr karya Prof. Wahbah Zuhaili di samping tentu tafsir-tafsir lain yang dianggap memiliki standar yang dinilai layak menjadi rujukan. Al-Tafsîr Al-Munîr dalam penilaian tafsir Unisba, dapat dipahami, baik oleh pemula maupun mereka yang sudah biasa dalam bidang keilmuan. Bahasanya lugas, banyak contoh, mirip dengan tematik, analitik, dan sepertinya, segalanya ada pada tafsir itu. Sementara itu, Al-Tafsîr Al-Munîr dapat dikatakan serba-ada, sesuai dengan kata pengarangnya ketika memberi nama tafsir ini, sebagai, “Al-Tafsîr Al-Munîr: Fî Al-Aqîdah wa Al-Syarîah wa Al-Manhaj.

Ada beberapa kelebihan Al-Tafsîr Al-Munîr ini. Pertama, sesuai namanya, tafsir ini memberikan pencerahan, the illuminating interpretation. Tafsir yang bukan hanya dari aspek isi dan substansi, tetapi dari aspek metode, sistematika, dan penulisan. Metode yang mirip maudhûî (tematik), yaitu setiap surah dipenggal-penggal berdasarkan kumpulan ayat tertentu, yang selanjutnya menjadi topik tertentu. Dalam sistimatikanya, dimulai dengan penulisan ayat-ayat, penjelasan gramatika, penjelasan kata-kata yang dinilai sulit atau memerlukan penafsiran, tafsir dan uraiannya (al-tafsîr wa al-bayân), dan kesimpulan yang disebut dengan fiqhu al-hayât. Atas dasar itulah, Tafsir Unisba disusun, sehingga mampu memberikan pencerahan pula pada para pembacanya.

Kategori: Tag: