Kisah Nabi Syu’aib Dengan Kaumnya (QS Al-A’raf [7]: 88-93
Kisah Nabi Syu’aib Dengan Kaumnya (QS Al-A’raf [7]: 88-93
Para pembesar dan tokoh kaum Nabi Syu’aib itu angkuh. Mereka tidak mau beriman, tidak mau melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, enggan untuk beribadah kepada Allah. Demikian juga mereka curang dalam menimbang, mengukur, dan selalu membuat kerusakan di bumi. Ketika Nabi Syu’aib menyampaikan dakwah dan peringatan, mereka malah mengancam, “Hai Syu’aib, pilih di antara dua pilihan, kami mengusir kamu dan pengikutmu dari kampung halaman ini atau kalian kembali memeluk agama kami, agama yang kita warisi dari nenek moyang kita secara turun-temurun.”
Sejalan dengan uraian ini, Al-Maraghi (VII, t.t.: 4) mengungkapkan bahwa para tokoh dan pembesar kaum Nabi Syu’aib itu bersumpah akan mengusir Nabi Syu’aib dan pengikutnya. Mereka benci, takut, dan khawatir terhadap pengaruh Nabi Syu’aib dan ajarannya. Oleh karena itu, mereka pun mengajak Nabi Syu’aib kembali memeluk agama yang diwariskan nenek-moyangnya.
Dalam pandangan Al-Maraghi, Syu’aib sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau memeluk agama nenek-moyangnya. Asumsi ini didasarkan pada permintaan kaumnya agar ia kembali memeluk agama kaumnya. Namun, Al-Maraghi menandaskan, Syu’aib tampaknya tidak terlibat ke dalam kemusyrikan mereka, dan kecurangannya dalam menimbang dan mengukur.
Sejalan dengan Al-Maraghi, Al-Zuhaili menegaskan, para tokoh dan pembesar kaum itu memberi dua pilihan kepada Nabi Syu’aib dan pengikutnya, diusir dari kampung halaman atau kembali kepada agama nenek moyang. Dalam menanggapi ancaman tersebut, Nabi Syu’aib menjawab, dalam bentuk pertanyaan menentang atau mengingkari, “Apakah kalian tetap akan memaksa kami kembali mengikuti agama nenek moyang walaupun kami tidak mau, dan apakah kalian tetap akan mengusir kami dari kampung halaman walaupun itu menjadi hak dan milik kami sendiri? Kalian itu orang-orang bodoh, tidak mengetahui bahwa akidah yang benar telah tertanam kuat dalam hati kami sehingga tidak akan ada orang yang dapat menggoyahkan kami. Kalian juga tidak tahu bahwa kecintaan kepada tanah air itu tidak akan dapat menggoyahkan akidah. Kecintaan tinggal di kampung halaman sendiri itu tidak akan dapat memengaruhi keinginan untuk mencari rida Allah, bertauhid kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, serta mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya.”
Setelah merasa gagal memaksa Nabi Syu’aib dan kaumnya kembali ke agama nenek moyang, mereka mengancam Nabi Syu’aib dan para pengikutnya. Para tokoh itu mengatakan, “Hai orang-orang lemah, andaikan kalian tetap mengikuti agama Syu’aib, demi Allah, kalian pasti rugi.”
Kerugian di sini, secara maknawi, berarti rugi meninggalkan agama lama yang sudah mengakar dalam hati dan mudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, kemudian memeluk agama baru yang belum dikenal praktik dan tujuannya. Sedangkan kerugian berikutnya bersifat materi. Jika mengikuti agama Syu’aib, mereka tidak akan mendapat keuntungan besar dalam berdagang, karena ajaran agama yang dibawa Nabi Syu’aib itu melarang curang dalam menimbang dan mengukur.
Jika dicermati, Al-Quran menjelaskan, para tokoh dan pemimpin kaum Nabi Syu’aib itu dengan sombong, tidak mau beriman kepada Allah dan Nabi Syu’aib sebagai Rasul Allah. Lalu, mereka itu disebut sesat karena mengajak atau memaksa Nabi Syu’aib dan pengikutnya kembali ke dalam kekafiran (memeluk agama nenek moyang).
Siapa yang disebut orang-orang yang merugi? Jawabannya adalah orang-orang yang mendustakan Nabi Syu’aib. Mereka itu diazab Allah sehingga semuanya mati seolah-olah mereka tidak pernah menghuni kampung itu. Ayat ini sebagai bantahan terhadap peryataan mereka yang tercantum pada ayat 90, … Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu menjadi orang-orang yang rugi.
Maksud bantahan atas pernyataan kaum Nabi Syu’aib untuk menegaskan dan menambah celaan dan kecaman.
Sedangkan pengulangan kata al-khâsirîn untuk menunjukkan pentingnya masalah, dan untuk menakuti orang-orang bodoh yang mendustakan Nabi Syu’aib itu.
Jelasnya bahwa orang-orang kafir itu yang akan mengalami kerugian besar, baik di dunia maupun akhirat; bukan orang-orang beriman. Karena para pengikut Nabi Syu’aib itu telah diselamatkan Allah, mereka termasuk orang-orang yang beruntung
(dinukil dari Tafsir Al-Quran Juz IX)