MENYOAL BACAAN AL-QURAN DENGAN LANGGAM JAWA
Lampiran Surat Nomor : 68/I.02/LSIPK-k/V/2015
MENYOAL BACAAN AL-QURAN DENGAN LANGGAM JAWA
Beberapa waktu yang lalu Umat Islam dikejutkan dengan bacaan Al-Quran yang tidak lazim didengar di telinga mereka, yaitu bacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. Umat Islam mendengar bacaan yang “ganjil” tersebut, ketika menyaksikan Peringatan Isra’ dan Mikraj di Istana Presiden, yang disiarkan langsung lewat TVRI. Tak ayal, muncul beragama pertanyaan tentang hukum membaca dengan langgam Jawa tersebut.
Atas dasar itu, Bidang Fatwa,Kajian Islam, dan Mesjid LSIPK mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan diskusi yang dihadiri oleh Ketua LSIPK, Dekan Fakultas Syariah, Dekan Fakultas Dakwah, dan para dosen pengajar Ilmu-ilmu Al-Quran di lingkungan Universitas Islam Bandung. Dari pelaksanaan diskusi yang dilakukan, disampaikan beberapa rangkuman hasil sebagai berikut:
Pertama, Allah Swt menggariskan hal-hal yang berkaitan dengan cara membaca, merenungkan dan menghayati Al-Quran sebagai berikut:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (23) [الزمر: 23]
- Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun (QS Al-Zumar, 39: 23)
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4) [المزمل: 4]
Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan (QS Al-Muzzammil, 73: 4)
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا (106)} [الإسراء: 106]
- Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (QS Al-Isra,17 : 106)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Al-Quran hendaknya dibaca dengan perlahan-lahan (tartil), sehingga setiap huruf mendapatkan hak-nya sesuai makhraj huruf-nya, termasuk panjang atau pendeknya. Al-Quran juga seharusnya dibaca dengan khusyuk dan direnungkan makna dan kandungannya. Sehingga memberi manfaat bagi orang yang membacanya.
Kedua, di dalam pembahasan Ilmu-ilmu Al-Quran, soal membaca Al-Quran bersifat tauqifi, artinya mengikuti contoh aturan yang ditetapkan lewat periwayatan yang sampai kepada Nabi Saw. Ada tujuh bacaan yang disepakati oleh umat Islam untuk dijadikan pedoman (pakem) dalam membaca Al-Quran. Inilah yang kemudian disebut qiraat sab’ah (tujuh bacaan), yaitu qiraat ‘Ashim al-Kufi, Hamzah Al-Kufi, Al-Kasa’i, Ibnu Amir, Nafi’, Ibnu Katsir, dan Ibnu Amar.
Ketiga, sebelum terlanjur jauh keluar dari koridor ajaran Islam, sebuah hadist – yang dinilai dhaif oleh sebagian pakar—memberi peringatan, sekurang-kurangnya peringatan dini bagi umat Islam:
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: اقرأوا القرآن بلحون العرب وأصواتها وإياكم ولحون أهل الكتابين، وأهل الفسق، فإنه سيجيء بعدي قوم يرجِّعون بالقرآن ترجيع الغناء والرهبانية والنوح، لا يجاوز حناجرهم مفتونة قلوبهم وقلوب من يعجبه شأنهم )الطبراني في الأوسط(
“Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu dan irama ahli Al-Kitab dan orang fasik. Nanti akan ada orang yang datang setelahku membaca Al-Quran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampaui tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa firnah, juga haqti orang yang mengaguminya.” (HR Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath)
Menurut Al-Biqa’i, dalam kitabnya, ”Masha’id al-Nadhzar”, bahwa melagukan Al-Quran (Talhiin Al-Quran) diharamkan dengan dasar hadist di atas.
Keempat, bahwa struktur bahasa dan notasi bahasa Al-Quran sangat jauh berbeda dari bahasa Jawa. Konsekuensi logisnya, kesalahan akan terjadi di dalam beberapa hal berikut:
(1) Ada unsur pemaksaan bacaan Al-Quran agar sesuai dengan notasi (langgam Jawa), sehingga menimbulkan kekacauan dalam bacaan/panjang atau pendeknya.
(2) Ada pelanggaran terhadap kaidah ilmu Tajwid dan Makharijul huruf.
(3) Yang lebih berat lagi, jika bacaan Al-Quran tersebut ditampilkan bukan didasarkan niat yang ikhlas, karena Allah, melainkan fanatisme kesukuan/’ashabiyyah.
Sebagai ilustrasi, lagu wajib nasional, seperti Indonesia Raya, akan menjadi kacau jika boleh dinyanyikan dengan langgam Jawa atau daerah lainnya. Padahal, lagu tersebut telah disepakati sebagai lagu wajib nasional seperti dinyanyikan oleh WR Supratman. Sehingga di mana pun dikumandangkan, lagu wajib tersebut tetap sama, karena menjadi alat pemersatu. Sebaliknya, apalagi lagu itu boleh diubah-ubah, maka itu dipandang melecehkan salah satu lambang/simbol negara.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan memperhatikan keresahan yang ditandai dengan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat, maka forum diskusi menetapkan:
(1) Bacaan Al-Quran dengan langgam kedaerahan (al. langgam Jawa) tidak dibenarkan/haram hukumnya.
(2) Umat Islam tidak perlu terlibat dalam mengenalkan, mensosialisasikan, dan mengembangkan model bacaan tersebut.
(3) Umat diserukan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap pengikisan nilai-nilai Islam (Al-Quran) dengan dalih memperkaya budaya/kearifan lokal.
(4) Umat Islam selalu berpegang teguh pada sumber yang berdasar riwayat, sebab “jika tanpa isnad/dasar riwayat, niscaya orang akan berkata sekehendak hatinya.”(Lau lâ al-isnâd laqâla kullu man syâ’a mâ syâ’a)”